Rabu, 16 Juli 2008

RIWAYAT KERONCONG (Bagian I)


1.Dari Portugis ke Jawa

CAFRINHO kiteng santadu, Lanta pio bata-bata, Cafrinho kere andakaju, Tira terban naji sako, Pasa pasa na bordumaar, Ola nabi kare nabiga, Vilu vilu nangkorsang mal, Nungku atja justisa,Dangli di dandang, Belu kordang barla bongbang, Ung makas mante nomau, Koro bala ungjong jifrau.
Dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya demikian: Kafrinyo sedang duduk bermain, Angkat kaki sambil berdansa, Kafrinyo mau permisi pulang, Angkat topi beri selamat, Jalan-jalan di pantai laut, Lihat kapal sedang berlayar, Anak-anak jangan berpikir jahat, Akan tersangkut perkara polisi, Hanya bicara tak ada artinya, Menari dansa sambil bergaya, Uang sesenpun tak ada di tangan, Tetapi berani meminang.

Berbeda dibandingkan lagu keroncong pada umumnya yang mendayu-dayu, lagu-lagu yang dibawakan oleh anak-anak muda komunitas Kampoeng Toegoe dari Jakarta Utara ini membawakan lagu berjudul Cafrinho (baca: kafrinyo) itu dengan lebih khas, riang, penuh semangat! Irama lagunya pun lebih cepat dibanding musik keroncong umumnya. Ini terjadi pada tahun 2000.

Pada masa yang sama, keroncong sebenarnya sedang mengalami sejumlah perkembangan yang siknifikan. Maraknya kesenian rakyat campursari di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sebagian wilayah Jawa Tengah sejak tahun pertengahan tahun 1999 memperlihatkan bahwa seni tradisi masih berakar di tengah kehidupan masyarakat. Hal ini dikatakan Dr Felicia Hughes-Freland, antropolog dari University of Wales Swansea, Inggris, ketika memaparkan materi perkembangan seni tayub Desa Munthuk, (Kabupaten Bantul Yogyakarta) di Pusat Pengkajian Kebudayaan dan Perubahan Sosial (PPKPS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, 25 Agustus 1999.

Dr Felicia Hughes melihat gejala menguatnya aspek-aspek lokal itu diduga merupakan bagian dari semacam semangat perlawanan atau counter culture terhadap dominasi budaya global. Antropolog yang menulis disertasi berjudul The Search For Sense: Dance in Yogyakarta yang terbit tahun 1986 itu menilai, perkembangan bentuk kesenian campursari seperti campursari tayub, campursari angguk, atau campursari angguk dan jatilan seperti yang terjadi di DIY dan wilayah Jawa Tengah lainnya, sebenarnya berlawanan dengan konsep kesenian adiluhung, yang umumnya berkesenian dengan pembatasan-pembatasan tertentu dan mempertahankan keaslian.

Ini terjadi karena budaya Indonesia sedang dalam masa transisi. Diharapkan para seniman keroncong yang masih mempertahankan bentuk keaslian keroncong dapat melakukan perubahan, sehingga bisa mengubah struktur estetika yang diacu masyarakat. Keberlanjutan keroncong dengan sendirinya perlu dilakukan dengan mengadakan pendekatan atau bahkan pembauran dengan musik lain.,

Karena keroncong sebenarnya bukanlah musik yang kaku. Kolaborasi dengan jenis musik lainnya akan membuat keroncong semakin kaya warna. Yang lebih penting lagi, keberlanjutan musik keroncong akan lebih menjanjikan. Kalau tidak, kita akan tertinggal dari Malaysia yang saat ini sudah mulai mengembangkan keroncong.

Apakah musik keroncong akan mati dan hanya tinggal menjadi barang museum musik nasional kita? Tentunya pertanyaan ini bisa menyinggung dan melukai perasaan para musisi keroncong walau mereka melihat fakta ke arah itu sangat jelas..

Pertanyaan tentang masa depan musik keroncong, disikapi dengan arif oleh tokoh keroncong asal Solo, Andjar Any, yang tidak tidak sependapat dengan banyak kalangan yang memprihatinkan masa depan musik keroncong. Karena katanya perubahan dalam musik keroncong harus dilihat sebagai air yang terus mengalir. Kalau dalam perjalanan air itu mesti tersangkut pada sesuatu, memang harus demikian, dan anggaplah itu sebagai bagian dari proses perjalanan.

Kerisauan sejumlah kalangan bahwa kemerosotan yang dialami musik keroncong, antara lain, lantaran terdesak oleh berkembangnya musik campursari, menurut pencipta lagu Yen Ing Tawang Ono Lintang dan Jangkrik Genggong ini, sebaliknya disikapi sebagai proses perkembangan musik secara umum.

Munculnya musik campursari yang pada awalnya berangkat dari musik keroncong asli dan langgam, yang merupakan kreativitas dan kebebasan berkesenian untuk senantiasa melakukan pengembangan. Campursari tetap menggunakan dasar-dasar keroncong. Ada yang cenderung ke musik karawitan, ada yang cenderung ke keroncong. Tetapi semua itu merupakan bagian dari perjalanan musik keroncong, sehingga apa pun bentuknya tidak masalah karena membuktikan bahwa musik keroncong tidak mandek. Tentu saja pengembangannya pakem dan kaidah dasar musik keroncong harus dicairkan atau harus lebih luwes. Kemerosotan musik keroncong antara lain disebabkan pakem dan kaidah yang dianggap kaum muda membelenggu.

Walau demikian sempat juga kalangan musik keroncong terkejut ketika Juhartono atau yang leboh dikenal sebagai Jujuk Eksa meng-congcut (keroncong-dangdut)-kan Words grup legendaris The Bee Gees arau kemudian Rama Aiphama meng-disco-reggae-kan Dinda Bestari.

Sementara Manthous dengan Grup Campursari Maju Lancar Gunungkidulnya menjadi kiblat para pencinta lagu-lagu langgam Jawa. Musik garapannya tidak sekedar memadukan musik tradisi Jawa (gamelan) dengan alat musik diatonis seperti gitar, keyboard, dan lainnya. Dia membuat padanan nada dengan skala diatonis, dengan cara menyetel seluruh gamelan.

Musik yang digarapnya menampilkan kekhasan campursari dengan langgam-langgam Jawa, juga ada rock, reggae, gambang kromong, tembang Jawa murni seperti kutut manggung dengan gamelan yang diwarnai keybord dan gitar bas.

Anak-anak muda yang tergabung dalam grup musik Krontjong Toegoe, kelihatannya tidak mau ketinggalan. Mereka membawakan lagu Cafrinho yang digubah dalam bait-bait pantun bersambut dengan syair bahasa Portugis dengan semangat kaum muda yang dinamis.

Di Portugal-negeri, yang disebut sebagai asal musik keroncong, gaya yang dimainkan grup musik Kroncong Toegoe disebut moresco. Hingga kemudian masyarakat di Indonesia menyebutnya sebagai keroncong Moresko. Grup musik Krontjong Toegoe, yang dulu dikenal dengan pemusik-pemusiknya yang rata-rata berusia lanjut, sekarang sudah beranggota generasi baru.

Meski Kampoeng Toegoe sudah tidak lagi seperti dulu, sementara orang-orang Tugu pun sudah banyak yang pindah, namun lewat musik yang dikenal sebagai Krontjong Toegoe masih bisa berwisata ke masa lalu. Paling tidak, sekarang ada anak-anak muda Kampoeng Toegoe yang menjadi motor penggerak grup musik Krontjong Toegoe.

Kehadiran keroncong ini berawal dari jatuhnya Malaka dari Portugis ke tangan Belanda pada abad ke 16, sekitar tahun 1590. Orang-orang Portugal yang umumnya tentara keturunan berkulit hitam berasal dari Bengali, Malabar, dan Goa, ditawan dan dibawa ke Batavia. Baru sekitar tahun 1661 mereka dibebaskan setelah diangap tidak berbahaya dan tetap dibiarkan memiliki senjata yang sebelumnya dipergunakan untuk perang. Senjata-sejanta itu kemudian menjadi alat pencari nafkah, yaitu berburu babi hutan.

Mereka bemukim di rawa-rawa teluk Jakarta yang sedang berkecamuk wabah malaria dan influensa. Kawasan itu dinamakan Belanda Tanah Mardika. Dari sinilah menurut Prof. Mr. Dr. Soekanto dalam bukunya Dari Djakarta ke Djajakarta, asal nama mardijker (bahasa Sansekerta mahardhika yang berarti merdeka). Nama itu pada jaman penjajahan Belanda diberikan ke pada budak yang mereka bebaskan, vrijgelentene, yakni yang telah dimerdekakan.

Banyak dari orang-orang Portugis bekas tawanan itu pindah ke kawasan lain Jakarta, antara lain Kemayoran. Mereka yang pindah itu berasimilasi dengan golongan Tionghoa dan Belanda. Sementara yang tetap berada di Tanah Merdeka membentuk komunitasnya sendiri, mardikers dan membangun komunitas yang kemudian dikenal sebagai orang Kampoeng Toegoe, dengan pekerjaan sebagai bertani, berburu, dan mencari ikan.

Sebagaimana budak-budak asal Afrika di Amerika yang di kala senggang seusai mengerjakan sawah-ladang atau berburu mengisi waktunya dengan bermain blues, musik ratapan kaum tertindas, begitu pula dengan para mardikers. Dengan peralatan sederhana berupa alat musik petik mirip gitar kecil berdawai lima yang mereka sebut matjina serta djitera (gitar), seruling dan rebana mereka memainkan lagu-lagu dari tanah kelahirannya, dengan musik yang dominan suara crong…crong…crong dari matjina, yang kemudian dikenal sebagai ukulele.
Mereka berusaha membangun suasana gembira di tengah penderitaan sebagai bekas orang buangan di serambi rumah, bawah pohon sambil menikmati indahnya bulan purnama dan sepoi-sepoi angin pesisir membawakan lagu Moresco:

"Anda-anda na boordi de more, Mienya corsan nunka conteti, Yo buska ya mienya camada, Nunka sabe ele ya undi, Yo buska ya minya amada, Yo buska ele tudu banda, isti corsan teeng tantu door, Yo pronto fula e strella, booster nunka ola un tenti? Fula e strella nunka reposta, Mienya corsan nunka contenti, O bie oki mienya amada, Mienya noiba, moleer bonito, Yo espara con esparansa, E canta cantigo moresco(Berjalan-jalan di pantai, Hatiku gundah gulana, Aku mencari kekasih, Entah berada di mana,Kucari kekasihku, Calon isteri jantung hati, Kucari dimana-mana, Hatiku teramat duka, Kutanya bunga dan bintang, Kau lihatkan seseorang? Bunga dan bintang tak menjawab, Hatiku gundah gulana, O datanglah kekasihku, Calon istriku, O juwitaku, kunanti penuh harapan, Sambil berdendang lagu Moresco).

Syair lagu Moresco berbahasa Portugis dengan dialek Tugu ini diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh A.Th Manusama pengarang buku Krontjong als muziekinstrument, als melodie en als gesang (penerbit Boekhandel G. Kolff & Co, Batavia, 1919). Dari bahasa Belanda Kusbini menerjemahkannya ke bahasa Indonesia.

Menurut A,Th Manusama lagu Moresco berasal dari kata Moor, yakni golongan bangsa Arab yang banyak mepengaruhi jalan sejarah dan kebudayaan Eropa Selatan dan Asia. Bangsa Moor pernah menguasai semenanjung Iberia yang terletak antara laut Atlantik dan laut Mideterania di barat-daya Eropa pada bada ke 8, sekarang kawasan ini dikuasai Spanyol dan Portugal. Bangsa Portugis menggolongkan lagu tersebut sejenis lagu gondala (em>gondel lied), lagu pendayung sampan.

Sementara Amir Pasaribu dalam bukunya Musik dan Selingkar Wilayahnya menyatakan moresko berasal dari sebuah tarian Portugis, moreska. Lagu Moresko bersama
Nina Bobo, Prounga dan Cafrinho bisa dikatakan adalah lagu-lagu keroncong pertama, yang oleh Kusbini disebut keroncong Portugis, untuk membedakan dengan keroncong asli Indonesia yang lahir kemudian.

Kampung Tugu terletak di sebelah utara - timur pelabuhan Tanjung Priok dan terbagi 2 kelurahan, Kelurahan Tugu Utara dan Kelurahan Tugu Selatan yang dibelah jalan Pelumpang Semper dan flyover jalan Tol Pelabuhan. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Lagoa dan Kelurahan Kalibaru, sebelum berhadapan dengan Laut Jawa.

Kawasannya ini tentu bukan lagu rawa-rawa, melainkan sudah menjadi tempat permukiman yang padat penduduk dengan segala fasilitas kehidupan modern seperti Rumah Sakit Tugu, Komplek Perumahan Imigrasi, Komplek Pertamina, gereja, kelenteng, masjid, sekolah, pasar dan komplek Kramat Tunggak yang sekarang menjadi Islamic Center. Lokasinya lebih mudah dicapai dari Kawasan Berikat Nusantara (Nusantara Bonded Warehouse) Cakung. Telusuri saja jalan Cacing (Cakung - Cilincing), begitu bertemu jalan Tugu Raya belok ke kiri. Setelah bertemu pasar dan Rumah Sakit Tugu, di sanalah pemerintahan penjajah Belanda membuang serdadu Portugis yang kalah perang sekitar 4 abad silam.

Waktu itu Kampung Tugu ditempuh melalui sungai Cakung dan Kali Semper. Setelah menyusuri pantai Cilincing dari pelabuhan Pasar Ikan. Meskipun tidak dilakukan lagi, sekarang juga sebenarnya bisa dilakukan dengan cara yang sama. Tapi tentu saja dengan tersedianya jalan sebagai transportasi masa kini cara bersampan yang dulu itu nyaris tidak dilakukan lagi, kecuali oleh para nelayan penangkap ikan. Sampan-sampan yang memasuki kali Cakung pada jaman Belanda, sejak kedatangan Jepang tahun 1942 tidak berfungsi lagi.

Disebut Kampung Tugu karena nama Tugu dimaksudkan sebagai tanda batas, versi lain mengatakan Tugu berasal dari kata Portugis, por tugu esa. Dari latar belakang sejarah, katanya di sana pernah ditemukan sebuah batu berukir berbentuk krucut bundar dan bertulis huruf Palawa dalam bahasa Sansekerta dari abad ke 4 dan ke 5 Masehi. Batu itu kemudian disebut sebagai Prasasti Tugu.
Adolf Heuken SJ dalam bukunya Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta(Yayasan Cipta Loka Caraka, 1997) menyebutkan bahwa Prasasti Tugu merupakan peninggalan arkeologis paling tua, yang membuktikan pengaruh Hindu di Jawa Barat. Batu-batu besar serupa, yang bertuliskan nama Raja Purnawarman, ditemukan di tempat-tempat lain di Jawa Barat. Raja ini memerintah sebuah kerajaan yang disebut Tarumanegara. Nama itu mungkin berkaitan dengan nama sungai Citarum, yang mengalir melalui Bendungan Jatiluhur dan bermuara di Laut Jawa, 20 kilometer timur laut dari Tugu.

Tempat ditermukannya Prasasti Tugu disebut Batu Tumbuh, prasastinya sendiri sudah disimpan di Museum Nasional sejak tahun 1911. Yang memiliki nilai sejarah paling tua di Kampung Tugu sekarang adalah sebuah gereja yang berusia sekitar 3,5 abad, yaitu Salib Suci. Bangunannya memang bukan berasal dari abad ke 17, melainkan sudah dibangun kembali dua kali hingga bentuknya yang sekarang.
Meskipun bangunannya yang asli telah beberapa kali direnovasi, sepintas bentuknya mirip bangun yang pertama, sederhana. Dinding dicat putih, dengan jendela dan pintu berwarna coklat. Di depan gereja terdapat kuburan, pendiri gereja, Melchior Leydecker.

Gereja yang dibangun tahun 1678 itu awalnya terbuat dari kayu Tahun 1738 diperbaik karena rusak dan lapuk, disebut Gereja Tugu yang kedua. Lonceng yang dibangun di sisi gereja makin melengkapi penampilan gereja kedua ini. Gereja ketiga dibangun tidak persis di lokasi semula, namun beberapa ratus meter dari gereja yang rusak akibat sebuah peristiwa kerusuhan. Lonceng gereja yang ada saat ini adalah replika lonceng yang dibuat bersama gereja kedua.

Kehidupan sehari-hari masyarakat di Kampung Tugu sekarang ini tidak berbeda penduduk ibukota lainnya. Tapi sekarang warga keturunan Portugis menjadi minoritas, karena padatnya penduduk pendatang. Keluarga Andre J Michiels yang tinggal tidak jauh dari Gereja Tugu atau keluarga Martinus Cornelis yang rumahnya berada paling timur di seberang Jalan Cacing, mereka memang terpencar sejak dulu. Ketika nenek moyang mereka mendiami tempat itu pada tahun 1661, masih berupa rawa-rawa. Lalu mereka mengolah lahan menjadi sawah atau kebun.

Di samping bertani, dulu keturunan Portugis di Kampung Tugu juga menangkap ikan di kali atau di laut. Mereka berburu babi hutan atau celeng di hutan-hutan sekitarnya. Hasil buruan mereka yang kemudian dibuat dendeng asin, dikenal sebagai dendeng Tugu yang lezat dengan kualitas yang sulit dicari tandingannya.

Sebagai daerah pertanian, kala itu Kampung Tugu memiliki tradisi pesta panen yang biasanya dilakukan setelah selesai menuai padi di sawah. Dalam pesta yang biasanya diadakan setiap bulan Agustus itu, warga menyisihkan sebagian hasil panennya, ternak, atau hasil kebunnya kepada gereja.

Gereja-melalui panitia yang dibentuk kemudian menjual buah panen itu dan hasilnya diserahkan untuk kepentingan gereja. Seiring tergusurnya daerah pertanian dan perkebunan menjadi permukiman padat dan tempat usaha, warga Kampung Tugu tidak mengenal lagi pesta panen.

Hingga menjelang akhir tahun 1990-an, masih ada keroncong keliling oleh anak-anak muda sambil mengunjungi rumah-rumah pada tengah malam Natal. Mereka menyapa setiap rumah dengan nyanyian dalam bahasa Portugis. Lalu saling bersalaman dengan tuan rumah. Pesta Natal berlanjut dengan perayaan Tahun Baru, yang dimeriahkan dengan orkes keroncong. Mereka bermain musik, menyanyi, dan menari. Pada hari Minggu pertama setelah pergantian tahun, diadakanlah pesta mandi-mandi. Sekarang ini tidak ada yang basah dalam pesta mandi-mandi, sebab mereka hanya saling mengolesi bedak cair ke wajah. Mandi-mandi konon adalah simbol saling membersihkan diri dan saling memaafkan.

Warga keturunan Portugis yang tinggal di sekitar Gereja Tugu tahun 2006 diperkirakan kurang dari 100 keluarga dan sudah berdarah campuran. Tapi tinggal di luar Kampung Tugu atau daerah lainnya, diperkirakan sekitar 200-an keluarga. Jumlah itu sebetulnya sangat kecil dibanding kemampuan mereka bertahan yang hampir empat abad.

Keportugisan mereka mulai pudar meski di tubuhnya tetap mengalir darah Portugis, karena mereka menganut sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal. Banyak yang terpaksa melepas fam (nama keluarga) karena kawin dengan keturunan Manado, Maluku, Timor, Jawa, atau Tionghoa. Pada mulanya terdapat belasan fam di Kampung Tugu. Namun karena faktor perkawinan campur tadi atau karena tidak memiliki anak laki-laki, beberapa fam tidak terpakai lagi. Angkatan ke sembilan dari keturunan Portugis sekarang tersisa enam fam: Michiels, Andries, Abrahams, Browne, Quiko, dan Cornelis.

Warga muda Kampung Tugu memiliki tradisi bermain keroncong keliling sambil mengunjungi rumah-rumah warga pada malam Natal. Pemilik rumah baru mau membuka pintu jika pimpinan rombongan telah mengucapkan salam berbahasa Portugis: Pisingku dia di Desember, nasedu di nos Sior jamundu Libra nos pekader unga ananti dikinta ferra asi klar kuma di dia unga anju di Sior asi grandi diallergria. Asi mow boso tar. Dies lobu Sua da bida cumpredae lampang kria so podeer, Santu Justru.(pada tanggal 25 Desember, Tuhan telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, yaitu Juru Selamat, agar barang siapa yang percaya kepada Dia tidak binasa, melainkan mendapat hidup yang kekal, dan hendaklah kita dapat menaruh harapan kepada-Nya).

Kebiasaan itu dimaksudkan untuk menghargai peristiwa keagamaan sekaligus untuk menurunkan tradisi berbahasa Portugis di kalangan anak muda. Rosalie Gross dalam bukunya De Krontjong Guitar (Uitgeverij Tong Tong, Den Haag, 1972), A.Th. Manusama dan penerbit Naesens & Co menyatakan bahwa lagu-lagu kroncong yang populer semasa penerintahan Belanda bukanlah lagu-lagu keroncong Indonesia yang berkembang sampai sekarang. Rosalie menjelaskan bahwa kroncong adalah peninggalan Portugis dan Indo Belanda dengan menyebutkan dua tokoh musik yang pernah tinggal di Indonesia, yaitu Paul Seelig (1876-1945) dan Fred Belloni (1991-1969).

Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan bermusik itu terhenti. Sekitar tahun 1970-an, atas inisiatif Yakobus Quiko, didirikanlah Grup Poesaka Moresko Toegoe. Namun, akibat kurangnya minat kaum muda terhadap musik keroncong, grup ini pun perlahan-lahan bubar.

Sekitar tahun 1988, Arend J Michiels yang juga Ketua IKBT (Ikatan Keluarga Besar Tugu), merasa terpanggil untuk mengangkat kembali kejayaan musik keroncong ini dengan mendirikan grup Krontjong Toegoe yang seluruh anggota pemainnya adalah orang-orang muda. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, proses regenerasi dalam grup Krontjong Toegoe selalu dipertahankan.

Empat Michiels bersaudara, Andre yang pada tahun 2006 berusia 39 tahun, Arthur James 37 tahun, Sartje Margaretta 36 tahun dan Milton Augustino 29 tahun, bahu-membahu bersama beberapa anak muda Kampung Tugu lainnya menjaga warisan para leluhur mereka.

Kalau ada tawaran untuk tampil. mengumpulkan pemain memang tidak mudah. Andre terpaksa kerja keras mengumpulkan teman-temannya yang sudah tersebar di berbagai tempat di luar Kampung Tugu, termasuk mencari pemain pengganti karena anggota grupnya pindah bekerja ke kota lain.

Meskipun masih tergolong muda, hampir semua lagu lama yang dicipta para pendahulunya bisa mereka mainkan. Dengan modal banyak bertanya dan mendengar, mereka yang kini bekerja di berbagai bidang kehidupan kota besar itu tetap berusaha melestarikan warisan leluhurnya yang tersisa.

Jika keturunan bangsa Portugis berusaha melestarikan lagu-lagu keroncong dengan bahasa asli mereka, perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa kita juga mampu menghasilkan lagu-lagu keroncong dalam bahasa Indonesia, bahkan hingga berbahasa daerah seperti langgam keroncong dan campusari yang berlirik bahasa Jawa.

Diawali lagu Kembang Kacang tahun 1924 yang disebut sebagai lagu keroncong Extra (tambahan), kemudian lahir eneka jenis lagu langgam Jawa lainnya seperti Tok Lelo Lelo Le Dung, Yen Ing Tawang Ono Lintang, Cah Ayu Ojo Lamis, Kecik, Kecik, Kopi Susu, sementara dari Jawa Barat kita mengenal Badjing Luncat, Sangkuriang, Es Lilin. Lagu-lagu itu selain berbahasa daerah asalnya juga dipengaruhi kesenian dan budaya masing-masing.

Salah satu langgam keroncong sebagai contoh adalah Caping Gunung, karya Gesang tahun 1973:

Saben bengi nyawang konang, Yen memajang mung karo janur kuning, Kembang wae weton gunung, Pacitan sarwi jenang, Panas udan aling-aling caping gunung, Najan wadon sarta lanang, Minumane banyu bening, Dek jaman berjuang, Nyur kelingan anak alang, Biyen tak openi, Gek saiki ana ngendi, Jarene wis menang, Kuturuan sing digadang, Biyen ninggal janji, Gek saiki opo lali, Neng gunung tak condongi sega jagung, Yen mendung tak silihi caping gunung, Sukur bisa nyawang, Nggunung desa dadi rejo, Nggone pada lara apa.

Dalam bahasa Indonesia berarti: Tiap malam lihat kunang-kunang, Menangkapnya dengan janur kuning, Bunga saja dari gunung, Camilannya serba jenang, Panas hujan memakainya caping gunung, Biar itu wanita atau pria, Saat jaman berjuang, Terus ingat anak negeri, Dulu kucukupi, Tapi kini entah di mana, Katanya sudah menang, tercapai yang dicitakan, Dulu pernah janji, Mungkin dia lupa kini, Di gunung kuberikan nasi jagung, Saat mendung kukenakan caping gunung, Sukur nampak kini, Gunung, desa jadi ramai, Jadi tidak hilang, Bekasnya tempat berjuang.

RIWAYAT KERONCONG (Bagian II)


2.Dari Tugu ke Gunung Kidul …

SELAIN musik keroncong, warga Kampung Portugis di Kelurahan Tugu, tidak merasakan hal khusus yang membedakan mereka dari warga lainnya. Kampung Tugu disebut sebagai tempat lahirnya musik keroncong, tapi tidak ada seorang pun yang tahu persis dari mana istilah musik itu berasal.

Banyak versi tentang istilah keroncong. Salah satunya adalah gelang keroncong, yaitu lima hingga sepuluh gelang yang dikenakan di lengan kaum hawa. Jika lengannya berlenggang ketika berjalan, gelang-gelang itu bersentuhan dan menimbulkan suara crong…crong….crong.

Sebutan kroncong, juga dikatakan berasal dari rangakaian gelang yang terdiri dari tiga ukuran yang selain dipergunakan sebagai perhiasan biasa dan perhiasan tari, juga perhiasan kuda yang menarik delman atau andong. Gelang yang kemudian disebut gelang keroncong itu menimbulkan tiga suara sesuai dengan ukurannya: cring…cring…cring (kecil), crung …crung… crung (sedang) dan crong …crong… crong (besar).

Pemeran karakter wayang orang juga mengenakan gelang keroncong, sebagaimana yang bisa terlihat dalam lukisan wayang kulit, di pergelangan tangan dan kakinya. Ada juga teh keroncong, yang disajikan dengan sebuah gelas atau cangkir. Teh yang sudah berada dalam gelas atau cangkir diseduh dengan air panas, lalu diihirup selagi hangat, semakin sedikit air yang tersisa teh menjadi lebih kental dan sepet, semakin nikmat. Teh keroncong ini juga dikenal sebagai teh-tubruk

Kemudian nasi keroncong, yang sekarang kita kenal sebagai nasi liwet, karena cara masaknya yang sama. Atau yang cukup populer, perut keroncongan. Pada tahun 1995 sempat ramai tentang istilah keroncong.

Iklan televisi Gold Star menggunakan kalimat Soundmax, suaranya metal harganya keroncong di harian Kompas, 2 September 1995. Kalimat itu diartikan beberapa pembaca menjadi Suaranya hebat, harganya murah, sehingga mengundang polemik.

Ada yang menyebutkan bahwa kalimat itu kreatif dan mengartinya Soundmax, suaranya keras harganya lembut. Tapi ada lain mengatakan iklan itu menghina musik keroncong sebagai sesuatu yang murah. Namun dengan tangkas, Ricky Subrata, President Director PT Komunika Cergas Ilhami, produsen televisi itu, menangkis dengan suratnya tertanggal 11 September 1995:

"Melalui surat ini kami ingin menjelaskan sekaligus menyelesaikan masalah kesalah-pahaman penafsiran iklan tv Soundmax (GoldStar), sebagai berikut: 1. Kami tidak pernah bermaksud merendahkan musik keroncong. 2. Dialog dalam iklan Soundmax yang berbunyi: "Soundmax... suaranya metal, harganya keroncong", adalah sebuah analogi yang biasa dipergunakan dalam teknik komunikasi periklanan, agar pesan yang ingin disampaikan dapat dengan cepat menarik perhatian, segar dan mudah diingat. Makna sebenarnya dari dialog tersebut, adalah: Soundmax suaranya dahsyat, harganya lembut dan bisa diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, seperti musik keroncong. 3. Namun, agar kesalah-pahaman ini tidak berlarut-larut dan sekaligus memperlihatkan respek kami terhadap musik keroncong, kami telah mengambil inisiatif mengganti dialog tersebut menjadi: "Soundmax... suaranya metal, harganya bagus, lho...". Dengan demikian, kesalah-pahaman ini telah selesai."

Asal-muasal istilah keroncong memang masih terus bergulir. Tapi yang pasti ukulele, gitar kecil yang panjangnya sekitar 65 sentimeter (leher/hals 35 sentimeter, badan/corpus, 30 sentimeter), disebut juga sebagai alat musik keroncong. Jika seorang memainkan alat musik itu, disebut sedang main keroncong. Maksudnya adalah dia sedang memainkan alat musik keroncong. Namun pengertiannya lama-kelamaan menjadi dia memainkan musik keroncong.

Ukulele yang dibawa bangsa Portugis kita sebut juga ,em>cuk, krung atau kencrung. Jika dimainkan, alat musik berdawai 4 ini memang mengeluarkan suara crong….crong….crong. Dugaan kuat bahwa dari suara ukulele inilah sebenarnya lahir istilah keroncong.

Prana Abrahams yang pada tahun 2006 berusia 77 tahun dan Robby Sowakeluwakan, 55 tahun, mengatakan bahwa keroncong lahir karena kebutuhan hiburan warga Kampung Tugu.

Waktu nenek moyangnya pertama bermukim di kawasan Cilincing, belum ada gramafon, radio, apalagi tape atau televisi. Satu-satunya cara bagi warga untuk melepas lelah adalah dengan bertutur cerita sambil memainkan alat musik yang mereka miliki, yaitu ukulele. Gereja pun belum memiliki orgel, jadi kalau ada kebaktian diiringi musik keroncong.

Prana inilah yang mewarisi tradisi turun-temurun membuat ukulele dan menjual kerajinan tangan itu ke toko Thio Tek Hong di Pasar Baru. Sebuah ukulele yang dibuat dari kayu bulat itu harganya Rp 60.000 - Rp 70.000.- (enam puluh ribu - tujuh puluh ribu Rupiah) pada tahun 2005. Dulu dawai ukulele dibuat dari urat kucing Anggora, sekarang menggunakan senar pancing.

Sebelumnya juga dikenal Leonidas Salomon. Laki-laki kelahiran 10 November 1904 itu membuat alat musik keroncong Tugu khusus untuk sebuah yayasan keturunan Portugis Yayasan Putra Tugu yang memperoleh Rp. 1500,- (seribu lima ratus rupiah) pada tahun 1971. Hasil itu pun harus dibagi ke pada pekerja yang membantunya.

Bahan utama alat musik keroncong Tugu buatannya adalah batang pohon kenanga atau waru. Disebut alat musik keroncong Tugu, karena berdawai 5. Menurut Leonidas, kalau berdawai 4 baru disebut ukulele.

Biasanya untuk memperoleh bahan baku alat musik buatannya, Leonidas harus membeli sebuah pohon kenanga atau waru. Setelah ditebang, dipotong dalam bentuk kotak, baru dibentuk badan alat musiknya. Sementara lehernya dibentuk dari potongan kayu yang memanjang.

Seperti juga Prana, Leonidas mula-mula menjual hasil keranjing tangannya itu ke toko Thio Tek Hong dan satu lagi sebuah toko alat musik di Senen. Tapi pada tahin 1971 kedua toko itu tidak lagi menjual alat musik, sehingga Leonidas hanya mengandalkan pesanan, yang tentunya saja jumlahnya sangat sedikit, Bahkan sering berbulan-bulan tidak ada pesanan sama sekali.

Selain membuat ukulele, warga Tugu juga memiliki kebiasaan membuat kue-kue seperti dodol dan kue lapis. Pada masa lalu belum ada penjual kue seperti sekarang, sehingga tiap rumah tangga harus membuat kue sendiri. Kue buatan sendiri itu disuguhkan pada tamu. Kue itu mewakili tingkat citra rasa pembuatnya, mewakili semacam prestise marga.

Lagu keroncong Portugis pertama-tama yang juga cukup populer adalah Prounga khusus untuk penyanyi solo sesuai dengan artinya tunggal. Lagu ini sangat disenangi penduduk Kampung Bandan, hingga menyebutnya Krontjong Bandan

Kampung Bandan yang sekarang terletak di Kecamatan Pademangan, Tanjung Priok Jakarta Utara, adalah tempat permukiman yang berpenduduk padat dan lingkungannya kumuh. Kampung Bandan dalam sejarahnya juga merupakan lokasi penampungan budak-budak dari pulau Banda, Maluku pada jaman pemerintah penjajah Belanda. Tahun 1621, Gubernur Jenderal J P Coen menaklukkan Pulau Banda, tawanannya berupa budak-budak dibawa ke Batavia dan ditempatkan di Kampung Brandan. Perlakukan budak-budak di sini lebih keras dibanding di Tugu.

Sampai tahun 1633, budak-budak itu masih dirantai. Tahun 1682 mereka mencoba memberontak melawan VOC di Marunda. Namun, apalah artinya pemberontakan mereka melawan VOC yang saat itu sudah mempunyai persenjataan lengkap. Konsekuensi dari pemberontakan yang gagal itu, sebagian budak Kampung Bandan dikirim ke Srilangka yang juga menjadi daerah kekuasaan Belanda.

Waktu itu Pelabuhan Pasar Ikan merupakan pusat perdagangan yang sangat ramai. Di sanalah budak-budak dari Kampung Bandan dipekerjakan. Seiring dengan perkembangan perdagangan di Batavia, pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan baru di Tanjung Priok. Untuk menghubungkan kedua pelabuhan yang berjarak sekitar delapan kilometer itu, Belanda membangun rel kereta api, lengkap dengan stasiunnya di Kampung Bandan, yang sekarang menjadi stasiun kereta-api Tanjung Priok.

Sementara itu di Kampung Tugu kalangan generasi yang berusaha melestarikan musik keroncong sampai dengan tahun 2006 tetap masih ada. Antara lain, Samuel Quiko yang berusia 67 tahun, dia mendirikan grup musik keroncong Cafrinho Tugu, yang sebelumnya dijalankan oleh kakaknya, Yakobus Quiko. Kelompok Cafrinho Tugu maupun Krontjong Toegoe tidak hanya melakukan pementasan di tanah air, bahkan telah beberapa kali mewakili delegasi kesenian Betawi DKI Jakarta di Tong Tong Fair, Den Haag, negeri Belanda.

Dibanding Krontjong Toegoe yang mengutamakan pemain dari kalangan orang Kampung Tugu keturunan Portugis, Cafrinho Tugu lebih terbuka bagi orang luar sehingga anggotanya pun jauh lebih banyak, yang hinggabtahun 2005 berjumlah sekitar 40 orang yang terdiri dari pemusik dan pengurus.

Manajemen Cafrinho juga menganut cara modern. Mereka memiliki beberapa kelompok, sehingga kalau ada yang mengundang bermain pada saat bersamaan bisa terlayani. Tapi usaha mereka untuk untuk bertahan hidup memang tidak mudah kali. Kalau pun menerima sebuah order, bisa jadi harus bermain untuk amal, bukan komersial. Kalau pun komersial, bayaran yang diminta harus realistis. Bisa dalam arti murah atau sekedarnya.

Sebelum proklamasi kemerdekaan setiap 31 Agustus, warga Tugu masa lalu menyelenggarakan pesta untuk merayakan ulang tahun ratu Belanda waktu itu, Wilhelmina. Mereka mengadakan pertandingan ketepatan menembak di lapangan terbuka. Hampir setiap kegiatan itu, mereka menyajikan musik keroncong sebagai hiburan dan dikunjungi warga sekitar termasuk warga Kemayoran. Dari berbagai kegiatan itu dapat dipastikan keroncong merambah ke kawasan lain, antara lain menjadi asal-usul munculnya keroncong di Kemayoran.

Keroncong Tugu memang menjadi inspirasi lahirnya lagu Krontjong Kemajoran sekitar tahun 1918 - 1919 yang konon diciptakan seorang keturunan Indo Belanda, tapi namanya tidak diketahui hingga sampai sekarang initial penciptanya ditulis N.N. Sinyo-sinyo Belanda pada masa itu mencoba memasukkan unsur jazz, yang menghasilkan keroncong dengan bunyi crong… crong…crong yang lebih improvisatif dan menambah variasi akord.

Dari Tugu pula keroncong terus merambah ke berbagai daerah di tanah air. A.TH. Manusama menyebutkan bahwa lagu-lagu Nina Bobok, Terang Bulan, O Ina Ni Keke, Kole Kole, Rasa Sajang Kene, Rasa Sajange, Burung Kakatua, Patokaan, Hoe Tjintjin, Ajun Ajun adalah lagu-lagu kroncong populer lainnya pada masa itu. Menilik judul lagu-lagu itu, berasal dari luar pulau Jawa seperti Sulawesi Utara dan Maluku.

Sementara dari Padang, Sumatra Barat, muncul lagu Pulau Pandan gubahan S.M. Mochtar, pianis orkes studio Nirom di Surabaya. Lagu ini di Sumatera terkenal sebagai lagu komidi stambul, yang berkeliling Indonesia tahun 1900-an, mengiringi adegan-adegan cerita yang menguras air mata. Cengkok, gregel, dan embatnya mengesankan gaya lagu Melayu. Pada masa inilah perkembangan keroncong melahirkan lagu jenis stambul.

Pada tahun 1920-an, musik kroncong terbatas dan hanya beraksi di lorong-lorong kampung dalam acara khitanan dan perkawinan. Baru pada tahun 1930-an ruang gerak kroncong lebih leluasa, hingga bisa tampil di jaarmarket (pasar malam) di Surabaya. Kemudian di Pasar Gambir, Jakarta, yang menyelenggarakan krontjong concours(festival keroncong).

Pasar Gambir memang dikenal sebagai penyelenggar krontjong concour, perlombaan atau sekarang populer dengan istilah festival, setiap tahun untuk melahirkan juara keroncong dari pulau Jawa. Resminya kejuaraan itu dinamai Krontjong Vaandel Concours. Digunakan kata vaandel, karena grup keroncong yang menjadi peserta harus membawa vaandel yang terbuat dari kain bludru hitam dan tulisan nama grupnya berwarna emas, misalnya Lief Java.

Karena waktu itu belum ada mikropon, seorang penyanyi harus memiliki suara yang lantang supaya bisa terdengar oleh para juri dan penonton. Penyanyi-penyanyi yang setiap tahun bertarung di Pasar Gambir antara lain adalah Van der Mull,Leo Spell, Louis Koch, Bram Atjeh, Paulus Hitam, Pung, Waha, S. Abdullah, Amat, Sulami, Miss Tuminah, Djajadi, Sumarno, Missi Moor, Siti Hapsah, John Isegar dan lain-lain.

Pada suatu ketika, Samidjo dari Bandung yang sama sekali belum dikenal memimpin orkes keroncongnya membawakan lagu-lagu dari film musik berdurasi 76 menit berjudul Pagan Love Song, yang diproduksi tahun 1950 dan dibintangi Esther Williams, Howard Keel. Film ini disutradarai Robert Alton.

Hebatnya Samidjo dan orkesnya berhasil menjadi juara pertama. Komunitas musik keroncong waktu itu mengatakan kemenangan itu bukan karena kualitas orkes dan penyanyinya, melainkan disebabkan lagu-lagu yang dibawakan lain daripada yang lain dan yang pasti, enak didengar atau menurut istilah sekarang, ngepop.

Meskipun kemudian langkah Samidjo itu diikuti orkes-orkes keroncong lainnya dengan membawakan lagu-lagu dari film Hollywood, bagi dunia musik keroncong waktu itu dianggap sebuah kemunduran. Yang pasti Pasar Gambir tetap dikenang sebagai wadah yang banyak melahirkan penyanyi dan orkes keroncong handal pada masa itu.

Tidak sedikit penyanyi-penyanyi pernah beraksi di Pasar Gambir, kemudian masuk studio rekaman perusahaan piringan hitam His Master Voice, Odeon, Beka, Columbia, Philips dan Kenari merekam lagu-lagu keroncong Indonesia dalam bentuk piringan hitam.

Setelah dipiringhitamkan, populerlah sejumlah lagu seperti: Taman Bunga Melati, Tjintanja Satu Ibu, Fadjar Blues, Tjuatja Terang Rumba, Nasib Besar, Sorha Dunia, Saja dan Kawan, Djudi Tjelaka, Laste Stambul, Tandjung Kandis, Oh, Ibu, Tjinta Menangkan Harta, Penghidupan dan Njanjian, Kopi Susu, Kerontjong Air Laut, Si Djantung Hati, Djalan Ke Titi Gantung, Oh Permata Yang Indah, Ratapannja Satu Isteri, Terang Rumba, Kerontjong Matahari, Kerontjong Terang Bulan di Pesisir, Stambil The Rail dan Kerontjong Balero.

Pada masa ini populer penyanyi tangguh keroncong seperti S. Abdullah, Miss Ellis, Miss Tuminah, Miss Jacoba, Miss Sopia dan lain-lainnya. Penyanyi perempuan memang ditambah kata miss di depan namanya. Sementara istilah buaja-krontjong, diberikan ke pada penyanyi pria.

Buaja-buaja-krontjong yang terkenal antara lain adalah Kusbini asal Yogyakarta yang dinobatkan di Surabaya dan Tan Tjeng Bok di Jakarta. Selain penyanyi, Tan Tjeng Bok juga dikenal sebagai pemain sandiwara. Sementara dari Solo, sampai sekarang masih ada yang merasa sebagai buaja-krontjong. Mereka adalah Anton Danu Saputro yang dalam usianya yang 74 masih memimpin grup musiknya, Orkes Keroncong Asli Sahabat yang beranggota 18 pemusik, manggung di Pendopo Taman Budaya Surakarta, 14 September 2004. Satu lagi Proto R dengan orkes keroncongnya OK Pusaka Bintang.

Dalam inovasi pemusik keroncong Solo memang lebih unggul. Sekitar tahun 1940 - 1950, penggunaan cello mengimitasikan suara kendangan atau contrabas untuk suara gong masih merupakan hal yang asing bagi pemusik keroncong di Jakarta, yang waktu itu sebuah orkes cendrung menggunakan banyak gitar dan memainkannya dengan cara mengocok atau meroffel. Bahkan ada yang menghadirkan 10 orang pemain gitar, sehingga di atas panggung kelihatan begitu gagah.

Perkembangan musik keroncong di Solo sudah berlangsung sejak tahun 1930-an. Muncul orkes-orkes keroncong besar dan kecil. Orkes keroncong besar waktu itu antara lain adalah Monte Carlo dan Kembang Kacang, di mana Gesang mengembangkan dirinya sebagai penyanyi dengan suara yang khas, karena dianggap memiliki ciri sendiri dibanding penyanyi keroncong lainnya. Tahun 1950-an populer langgam Jawa oleh Orkes Keroncong Irama Langgam dan Orkes Keroncong Bintang Soerakarta.

Seni musik Indonesia yang bersistim pentatonik (sistim timur) seperti gamelan salendro dan pelog serta diatonis (sistim barat), menjadi dasar utama perkembangan musk keroncong. Cara menyanyikan lagu kroncong berciri khas dengan cengkok, greget dan embat, yang mengesankan nyanyian (tembang) dengan iringan khas slendro / pelog, bergaya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Bali.

Ciri khas keroncong asli selain bentuk, gayanya terpengaruh permainan gendang dalam gamelan, juga kotekan dan gedugan dari musik para petani ketika mengetam padi atau permainan kotekan peronda malam di desa, dengan tong-tong yang dibuat dari seruas bambu.

Sementara itu pada tahun 1960, Brigadir Jenderal Pirngadi, pimpinan orkes kroncong Tetap Segar, memodernisasi berbagai jenis lagu kroncong yang kemudian disebut keroncong beat. Orkes yang pada kenyataannya membuat keroncong tetap segar ini merekam berbagai jenis lagu dalam piringan hitam dan kaset. Orkes keroncong Tetap Segar dalam usahanya mempopulerkan di dalam dan luar negeri juga melakukan penampilan di berbagai negara.

Keroncong beat bisa dikatakan terasa hanya pada orkes yang digunakan untuk mengiringi lagu. Lagu yang bukan keroncong pun bisa dikeroncongkan. Jadi musiknya kroncong, tapi lagunya bisa dari mana saja, termasuk lagu-lagu pop barat. Kroncong beat disukai para pemusik, karena mudah memainkannya dan yang paling penting sangat digemari masyarakat. Orkes keroncong Tetap Segar termasuk berani dan yang paling penting, keroncong beatnya dianggap sebagai inovasi yang positif bagi perkembangan musik keroncong.

IKI driji apa dengkul...?, adalah sepotong syair dari lagu Jawa yang diciptakan dan dibawakan oleh Manthuos, yang sedang sangat populer akhir tahun 1996 dan awal 1997. Sangat digemari pecinta lagu-lagu langgam di tanah air.

Lagu itu menceritakan kisah asmara sepasang anak manusia, tetapi potongan syair itu memiliki nuansa makna berganda.

Karena bisa juga menggambarkan betapa manusia meninggalkan nuraninya, tak perduli, sehinga tidak bisa membedakan lagi mana jari atau lutut. Driji di dalam potongan syair itu berarti jari, sedang dengkul adalah lutut.

Manthous bersama Grup Campursari Maju Lancar Gunungkidul waktu itu menjadi kiblat para pencinta lagu-lagu langgam Jawa. Musik garapannya tidak sekedar memadukan musik tradisi Jawa, gamelan, dengan alat musik diatonis gitar, keyboard, dia membuat padanan nada dengan skala diatonis, dengan cara menyetel seluruh gamelan.

Garapannya menampilkan kekhasan campursari dengan langgam-langgam Jawa yang sudah ada. Ada suasana rock, reggae, gambang kromong, dan lainnya. Ada juga tembang Jawa murni seperti Kutut Manggung, atau Bowo Asmorondono, dengan gamelan yang diwarnai keybord dan gitar bas.

Bersama grup musik yang berdiri tahun 1993 dan beranggotakan saudara atau rekan sedaerah di Playen, Gunungkidul, Yogyakarta itu, Manthous menyelesaikan sejumlah volume rekaman di Semarang. Omzet penjualan mencapai 50.000 kaset setiap volume, tertinggi dibanding kaset langgam atau keroncong umumnya pada tahun-tahun pertengahan 1990-an.

Di samping menyanyi sendiri dalam kegiatan rekaman itu Manthuos juga menampilkan suara penyanyi Sulasmi dari Sragen, Minul dari Gunungkidul, dan Sunyahni dari Karanganyar. Beberapa lagunya yang populer di antaranya Anting-anting, Nyidamsari, Gandrung, dan Kutut Manggung.

Gunungkidul khususnya Desa Playen yang tandus terkait dengan dua orang ternama. Playen adalah tempat H Budiharjo bersama pasukannya mengumandangkan kemerdekaan Indonesia lewat pemancar radio. Yang kedua, Playen adalah tempat kelahiran Manthous.

Tetapi orang-orang di Playen hanya tahu bahwa Manthous adalah pemain Campursari Gunungkidul. Tidak ada orang Gunungkidul yang menyangka bahwa syair gethuk asale saka tela yang tiap hari mereka dengar dan nyanyikan berasal dari sebuah lagu karya Manthous.

Tahun 1966 ketika berumur 16 tahun, Manthous memberanikan diri ke Jakarta. Pilihan utamanya adalah hidup ngamen, yang ia anggap mewakili bakatnya. Tapi tahun 1969 dia sudah bergabung dengan orkes keroncong Bintang Jakarta pimpin oleh Budiman BJ.

Tahun 1976 Manthous yang piawai bermain bas mendirikan grup band Bieb Blues berciri funky rock bersama Bieb anak Benyamin S, yang bertahan sampai tahun 1980. Kemudian Manthous bergabung dengan Idris Sardi, dalam grup Gambang Kromong Benyamin S. bahkan sebelumnya pernah menjadi pengiring Bing Slamet ketika tampil melawak dalam Grup Kwartet Jaya.

Inilah yang membuat Manthous menguasai aliran musik apa pun. Bahkan dalam khazanah dangdut dia mampu mencipta trik-trik permainan bas, yang ditiru oleh musisi dangdut sekarang.

Setelah itu dia kembali ke Gunungkidul Dari sanalah dia mengurus royalti atau honor lagu-lagunya. Urusan dengan Jakarta cukup lewat telepon. Pengalaman di Jakarta yang menghabiskan lebih dari separuh usianya, menyebabkan Manthous punya posisi kuat dalam tawar-menawar.

Semua itu antara lain berkat petuah Bing Slamet, yang pernah berpesan ke padanya, kerja dulu duwit akan datang sendiri. Disamping, tentunya, keuletannya untuk terus belajar serta berinovasi dalam mengembangkan berbagai macam musik dengan keroncong, dasar musiknya yang mula-mula.

RIWAYAT KERONCONG (Bagian III)


3 .Dari Indonesia ke Mancanegara

KERONCONG ditinggalkan masyarakat? Ternyata tidak.

Minat mereka terhadap jenis musik ini tetap besar. Menjelang akhir tahun 2005, Festival Keroncong Yogyakarta 2005, yang berlangsung hari Senen, 19 Desember di Gedung Societeit, Taman Budaya Yogyakarta, dipadati ratusan pengunjung.

Gedung peninggalan Belanda itu disesaki masyarakat yang ikut serta, maupun yang sekadar menyaksikan festival musik yang konon berasal dari Portugis itu. 300 lebih kursi yang tersedia terisi penuh. Penonton terus saja berdatangan walau ajang unjuk kebolehan bermain musik dan bernyanyi keroncong itu sudah dimulai.

Mereka yang baru tiba tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya. Begitu tiba di depan pintu masuk tempat pertunjukan, ratusan kursi sudah terisi dan puluhan manusia telah berdesakan di bagian belakang, tidak kebagian tempat duduk.

Untung panitia bertindak sigap. Begitu kelompok dengan nomor undian dua usai pentas, panitia mengajak puluhan penonton yang berdiri di barisan belakang dan di lajur antara kursi-kursi, untuk duduk persis di depan panggung alias lesehan. Puluhan orang tanpa sungkan menuruti ajakan panitia dan duduk berdesakan.

Apik, apik, pas nadanya. Ini baru mantap, ujar pengunjung yang berdiri di bagian belakang tempat pertunjukan. Ungkapan itu menunjukan asyiknya mereka menikmati sajian musik keroncong malam itu.

Pandangan mereka berbinar disertai senyuman. Asap rokok, serta panasnya suasana tempat pertunjukan akibat sesaknya penonton, tidak membuat mereka beranjak dari tempatnya masing-masing selama peserta festival beraksi menunjukan kebolehannya.

Tidak ada yang menduga sebelumnya, termasuk panitia, bahwa Festival Keroncong Yogyakarta 2005, yang sempat vakum sejak 1997 menarik begitu banyak anggota masyarakat. Benar-benar di luar dugaan. Semangat untuk bermain musik dan bernyanyi keroncong ternyata tetap menyala.

Yang juga menarik, 10 kelompok peserta festival didominasi pemusik dan penyanyi berusia muda. Hanya kelompok orkes keroncong (OK) Gita Winastu saja pemainnya berusia lanjut. Sedangkan OK Tresna Wara, Renonce, Kharisma, Gissiga, KBK 6,5, Rewo Rewo, Irama Candra, Bethesda Nada dan Citra Rhapsodia terdiri dari kaum muda, atau campuran antara tua-muda. OK Tresna Wara terpilih sebagai juara pertama, OK Citra Rhapsodia (runner-up), OK Kharisma (juara III), OK Gissiga (juara IV) dan OK Bethesda Nada (juara V). Selain tropi, mereka memperoleh dan Rp 3,5 juta sebagai dana pembinaan.

Drs Singgih Sanjaya, musisi sekaligus penyanyi keroncong kawakan, yang menjadi salah seorang anggota dewan juri bersama dua praktisi keroncong, Sri Hartati dan Andi-menyatakan optimismenya, melihat inovasi-inovasi dari peserta festival. Memang inovasi itu ada yang pas, baik dari sisi estetika maupun musikalitas, ada juga yang terkesan dipaksakan. Tetapi, semua itu tetap positif bagi perkembangan musik keroncong itu sendiri.

Keinginan membawa musik keroncong kembali meramaikan panggung pertunjukan menunjukan titik terang melalui Festival Keroncong Yogyakarta 2005. Selain bagai pelepas dahaga, ajang itu ternyata juga telah menghadirkan semangat baru untuk perkembangan musik keroncong ke arah yang lebih bervariasi dan menghibur, tanpa mengurangi esensi musiknya.

Pelestarian keroncong memang harus dikembalikan ke tengah-tengah masyarakat hingga terbuka ruang apresiasi seluas-luasnya. Keroncong jangan hanya dikemas dalam pertunjukan eksklusif, karena masyarakat awam yang biasanya berapresiasi, sesuai dengan ciri keroncong sebagai seni kerakyatan yang mudah berubah mengikuti situasi dan berkembang seiring dinamika budaya masyarakat.

Hal ini diungkapkan pemusik FX Sutopo, dalam dialog musik keroncong di Taman Budaya Yogyakarta, 23 Desember 2005, 4 hari setelah festival berlangsung. Dialog itu memang merupakan kelanjutan dari Festival Keroncong Yogyakarta 2005.

Sutopo melanjutkan bahwa sebagai sebuah seni kerakyatan keroncong harus didekatkan dengan masyarakat. Sehingga, bisa muncul kembali di tengah kehidupan orang banyak seperti pesta pernikahan, khitanan atau panen padi. Namun demikian keroncong bisa juga dikembangkan melalui ajang non-lomba, supaya peserta tidak terbebani dengan berbagai syarat. Sehinga ajang itu bisa menjadi ruang kreatif yang luas, berproses secara alami tanpa beban persyaratan tertentu sebagaimana sebuah perlombaan.

Keroncong sebenarnya tidak pernah redup dalam kehidupan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kalau di Yogyakarta, Solo, Semarang dan kota-kota Jawa Tengah lainnya denyut keroncong tetap terasa, walaupun kadang bergelora kadang lesu manja, begitu pula di Jawa Timur.

Sebuah komunitas pecinta keroncong berdiri bulan Oktober 2004 di Malang Pamori (Paguyuban Artis dan Musisi Orkes Keroncong Indonesia) Malang Raya, yang merupakan cabang dari Pamori Jawa Timur. Yang menarik Dan membanggakan adalah, Pamori didukung Rektor Unibraw (Universitas Brawijaya) Prof Dr Ir Bambang Guritno dan semangat Prof Dr Ir Yogi Sugito, yang sejak 1996 membidani parade musik keroncong di perguruan tingginya. Pamori Malang Raya diketuai Nur Basuki, yang juga adalah dosen Fakultas Pertanian Unibraw.

Jadi tidak heran jika hampir setiap Senin sekitar pukul 20.00 - 23.00, rumah besar Prof Dr Ir Yogi Sugito di Jalan Karet, Malang, terdengar sayup-sayup musik dan syair lagu keroncong. Suara musik itu datang dari lantai 2 yang memang khusus disediakan sebagai posko Pamori Malang Raya. Di situlah sekitar 15 anggotanya mengasah keahlian memainkan alat-alat musik khas keroncong seperti ukulele, biola, cello, gitar akustik dan seruling. Tak ketinggalan para para penyanyi juga melatih vokal bersama-sama.

"When marimba rhythm start to play, dance with me, make me sway. Like the lazy ocean, hugh to shore hold me close, sway me shore,......", syair lagu Sway itu dinyanyikan salah satu penyanyi keroncong, Retno Suntari yang tergabung dalam Pamori Malang. Retno yang tak pernah lepas dari bunga melati di rambutnya itu menyanyikan lagu dengan riangnya. Diikuti Yogi Sugito menyanyikan My Way, Fatwa Pujangga, Pepito, dan lagunya

Setelah Pamori Jatim berediri, anggota-anggotanya langsung membentuk sektor-sektor perwakilan Pamori di sejumlah daerah seperti Kepanjen, Singosari, Turen, dan sejumlah wilayah yang siap dikembangkan musik keroncong. Harapan menjadikan musik keroncong kembali jaya seperti tahun 1940-1950-an di Malang sangat diharapkan keaktifan sekitar 12 grup orkes keroncong yang masih aktif, antara lain Gita Puspita, Gita Kusuma, Candra Kirana, Ersa Karsa Nadana dan Tirta Melody.

Harapan menghidupkan kembali keroncong dari generasi muda tetap bisa diandalkan, misalnya Pipin yang tergabung OK Irama Kelana yang dibentuk awal tahun 2004 di Solo. Pemuda berusia 30 tahun ini membawakan lagu slow-rock yang populer lewat suara penyanyi rock Achmad Albar dan Nicky Astria, Panggung Sandiwara. Tapi Pipin membawakannya dengan cengkok keroncong. Demikian juga lagu lainnya, Tragedi Buah Apel, Andaikan Kau Datang dan Gubahanku.

Lagu-lagu yang sebenarnya bukan lagu keroncong itu, ternyata tetap mengalir indah dan enak di dengar dalam iringan musik keroncong. Pipin juga memperlihatkan bahwa dia bisa membawakan lagu-lagu keroncong, stambul, dan langgam seperti Paman Tani, Senandung Tani, Dewa-Dewi, Lingsir Wengi, Sentir Lengo Potro dan Slenco.

Bermula dari keprihatinan Mbong Muryadi, mantan lurah Gajahan, Solo yang bermukim di Perumnas Palur, Kabupaten Sukoharjo, yang menyaksikan anak muda di daerahnya bermusik dengan kompak dan bagus di tepi jalan, dikumpulkan anak-anak muda itu OK Irama Kelana. Sebelumnya dia pernah mendirikan orkes keroncong semasa masih menjadi lurah. Sekitar 20 pemusik dan penyanyi dari segala usia, kebanyakan anak muda, tergabung dalam OK Irama Kelana. Mereka sudah tampil di RRI Solo, televisi serta berbagai perhelatan lainnya.

Keroncong tidak hanya bergema di atas panggung. Dalam industri rekaman juga sanggup berhadapan dengan jenis musik lain yang selama ini menguasai pasar. Lagi-lagi peranan anak muda di sini kembali menjadi siknifikan.

Musik asick, chonk melodic, seru anak-anak muda yang tergabung dalam grup musik Kornchonk Chaos.. Mereka memainkan musik dengan alat musik keroncong seperti ukulele cak, ukulele cuk, kontra bas, tapi bukan keroncong murni, itulah sebabnya dipelesetkan menjadi kornchonk.

Anggota Kornchonk Chaos yang terdiri dari mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta ini menggabungkan keroncong dengan rock, hip hop, dangdut, dan heavy metal. Keroncong menjadi pilihan dengan pertimbangan untuk mengingatkan generasinya pada budaya sendiri, ketika terbentuk pada bulan September 2001.

Ternyata mereka tidak hanya bisa beraksi di atas panggung kampus, juga melangkah ke studio rekaman dan menghasilkan album berjudul Ini Baru Musik Asick. Untuk semua itu mereka menggunakan dana dari kantong masing-masing anggota. Dari mereka yang tampaknya masih dalam taraf apresiatif dan belum berpikir secara komersial inilah sebenarnya sering muncul karya-karya krestif yang bisa menjadi tonggak di kemudian hari.

Jelas yang di lakukan Kornchonk Chaos tidak segegap-gempita Didi Kempot tahun 2002. "Terkintil-kintil, Cintaku Terkintil-kintil, Tresnaku karo kowe ora bakal tak bakal cuil-cuil," itulah lagu campursari ciptaan Didi Kempot, lelaki kelahiran Solo, 31 Desember 1966, yang menghabiskan masa kecil di Ngawi, Jawa Timur. Anak seniman panggung Haranto alias Ranto Edi Gudel itu tumbuh ketika dangdut menjadi bagian dari realitas bunyi-bunyian sehari-hari dalam masyarakat Jawa.

Dangdut dimainkan dalam hajatan perkawinan sampai tujuh-belasan. Sebelumnya posisi itu dipegang keroncong, langgam Jawa, yang tidak lagi dominan sebagai bahan dengaran sehari-hari. Begitu pula karawitan yang tak banyak disentuh kaum muda kebanyakan.

Pemusik muda seperti Didi Kempot tergagap ketika berbicara di jagat pop. Mereka tidak seperti Rhoma Irama menemukan format dangdut, Koes Plus dan Rinto Harahap dengan pop, atau God Bless dan Nicky Astria dengan rock. Grup dan penyanyi yang kemudian berpengaruh di blantika industri rekaman ketika generasi Didi baru tumbuh.

Tanpa sadar Didi menggunakan medium keroncong, dangdut dan gamelan. Ketiga unsur yang menjadi landasannya dalam campursari yang kemudian digarapnya, menyerap juga ke lagu-lagu mandarin, rock dan latin. Campursarinya mengambil elemen musik rock, kemudian dicampur keroncong. Rock dalam campursari Didi memang cuma numpang lewat. Barangkali dengan pertimbangan orang Jawa belum bisa terima suara yang terlalu keras. Ternyata Didi, seperti, Terkintil Kintil, Stasiun Balapan dan yang lainnya diterima luas. Tidak hanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, atau di tempat lain atau komunitas berbahasa Jawa di Suriname.

Didi memang bukan yang pertama menggarap campursari. Gabungan dua jenis musik atau lebih musik sudah digunakan setidaknya pada tahun 1960-an. Almarhum Ki Nartosabdo pernah merespons dangdut dengan menciptakan gending Ojo Dipleroki. Karawitan Condong Raos yang dipimpin dalang kondang itu menggunakan cengkok dangdut yang terasa lewat permainan kendang Nartosabdo.

Waljinah dengan orkes Bintang Surakarta berikut pencipta lagu Anjar Ani, tanpa berpretensi untuk bercampursari, di awal 1970-an telah memadu langgam Jawa dengan musik pop. Mereka menggunakan organ Farfisa dan menyandingkannya dengan instrumen yang lazim digunakan dalam keroncong seperti ukulele dan cello.

Berkembangnya musik campursari, menurut Waldjinah, adalah salah satu hasil perkembangan keroncong. Baginya, campursari bukanlah jenis musik yang menyisihkan keberadaan keroncong, tetapi justru memperkaya. Dia juga berharap, pemilihan bintang radio untuk jenis musik keroncong diadakan kembali, akan sangat membantu kejayaan keroncong.

Waljinah melanglang buana dengan Walang Kekek-nya, "Walang kekek mabur neng sawah, Mabur maneh mencok wit jati, Nduwe bojo enom atine susah, Bojo tuwek watuke ngekek kesel mijeti (Walang kekek terbang di sawah, Terbang lagi hinggap di pohon jati, Punya suami muda di hati susah, Suami tua batuknya menggigil capai memijat)

Campursari adalah formula sinkretisme, Jawa dalam musik. Benci Tapi Rindu karya Rinto Harahap menjadi Sengit Ananging Kangen oleh Koko Thole. Campursari menarik karena mampu tumbuh sebagai industri. Geliat ini tentu saja mengekspresikan bahwa keroncong itu sebenarnya luwes dan bisa bergaul dengan jenis musik lainnya.

Pemusik Yogyakarta Djaduk Ferianto bersama kelompoknya Musik Katebe (Kelompok Taman Budaya) Yogyakarta juga tidak mau ketinggalan, dia meluncurkan lagu-lagu keroncong kreatif, Model dan Ngetrend yang diproduksi PT Gema Nada Pertiwi Jakarta tahun 1999.

Kalau selama ini ada yang disebut sebagai langkah pembaruan dalam musik keroncong, banyak diantaranya adalah hanya lagu pop yang dikeroncongkan.

Sedangkan apa yang disuguhkan Model dan Ngetrend terasa roh musik keroncongnya, diantara elemen musik jazz, dangdut dan rock yang menjadi campurannya.

Usaha Djaduk tidak berhenti sampai di Musik Katebe saja, tahun 2002 dia membentuk Orkes Sinten Remen, yang tampil Graha Bhakti Budaya TIM (Taman Ismail Marzuki), 5 Juli 2002 dengan judul Pertoendjoekan Hiboeran. Penonoton yang menjejali 900 kursi bergeming selama dua setengah jam. Di luar pintu masuk gedung pertunjukan, penonton disodori penawaran kaset Orkes Sinten Remen yang materi lagunya dijadikan bahan baku utama pertunjukan di dalam gedung.

Jelas konsep musiknya adalah keroncong. Hanya saja Djaduk memasukkan unsur-unsur irama musik lain yang telah akrab dengan telinga anak muda, yakni musik reggae, jazz, country, juga samba. Kekayaan tetabuhan keroncong seperti keroncong stambul, keroncong langgam, keroncong moresko dan keroncong tugu dalam Orkes Sinten Remen unsur-unsurnya menjadi dasar utama. Walaupun yang kedengaran dominan musik jaman sekarang yang dikenal anak muda. Di tengah pendekatan country, reggae, dan jazz, dimainkan dengan alat musik pendukung seperti kendang dan drum, identitas keroncong tetap nyata kehadirannya.

Sinten Remen memang kemudian menjadi funky, berdarah anak muda, cool, smart bersama Gareng, Petruk, Bagong dan keroncong. Kalau selama ini keroncong di RRI Yogyakarta untuk pendengar usia tua, diputar di waktu siang yang sedang terik atau di tengah malam yang dingin, Sinten Remen justru memperoleh dukungan rokok Djarum 76 beraksi di acara televisi Pasar Rakyat.

Tentang idenya yang tidak orisinal dan mengulangi apa yang pernah dilakukan tahun 1970-an oleh OM (Orkes Madun) PSP (Pancaran Sinar Petromaks), Djaduk menjawab dengan santai, "Memang harus kami akui kami mengambil PSP dan Jamrud, tidak meniru melainkan untuk referensi. Sebagai referensi kami juga mempelajari penyanyi pop Katon Bagaskara, grup Sheila on 7, penyanyi Agnes Monica, pencipta lagu Papa T Bob, penyanyi anak-anak Sherina dan Joshua".

Intinya, apa atau siapa sih yang tidak saling mempengaruhi dalam kesenian?

Keberlanjutan musik keroncong memang perlu dilakukan dengan mengadakan pendekatan pada musik yang sesuai dengan zamannya. Salah satunya adalah dengan memasukkan unsur musik lain yang digemari generasi muda saat ini.

Pendekatan yang dilakukan Hetty Koes Endang selama ini adalah mengkroncongkan lagu yang sedang populer. Dengan cara itu dia dianggap sebagai ratu-keroncong di Malaysia dan Jepang. Kaset keroncongnya laris dan dengan honor yang menggiurkan penyanyi lainnya, setiap tahun diundang melintas batas menghibur penggemarnya di negara-negara itu.

Hetty adalah penyanyi Indonesia yang berpenghasilan paling banyak lewat suaranya. Pada tahun 1990, dia mampu mengumpulkan penghasilan Rp 120 juta / bulan hanya dari atas panggung (Kompas, 19 Agustus 8 1990). Sementara menurut majalah Jakarta Jakarta (No 430, Oktober 1994) untuk satu kali naik ke pentas, tarif Hetty tidak kurang dari 35.000 dollar Malaysia atau Rp 28 juta (berdasarkan kurs waktu itu). Tentu saja semua itu tidak terlepas dari lagu-lagu keroncong yang dibawakannya.

Sampai akhir tahun 2005, Hetty yang berangkat sebagai penyanyi pop justru diakui eksistensinya sebagai penyanyi keroncong kembali mengkroncongkan lagu yang sedang populer, yaitu Ada Apa Denganmu. Lagu dari grup yang sedang populer Peterpan itu, kaset popnya terjual sampai 2 juta keping.

Berkat keroncong, 29 Juli 1996 Hetty menerima penghargaan Citra Adhikarsa Budaya, 24 tahun setelah penghargaan yang pertama diterimanya sebagai juara Festival Lagu Pop Remaja 1972 di Bandung. Berkat keroncong Hetty tampil di berbagai event musik di Jepang, Hongkong, Cina daratan dan Malaysia. Sejak tahun 1994 penampilannya sudah diproduksi saluran televisi khusus musik MTV, televisi Jepang dan RRC.

Kalau di Jepang Bengawan Solo tidak pernah ketinggalan dibawakan Hetty, sementara di Shanghai lagu yang disukai adalah Dayung Sampan. Hingga 2005, Hetty telah merekam sekitar 150 lagu dalam irama keroncong yang diedarkan puluhan judul kaset dan CD. Pony Canyon yang berkantor di Singapura khusus menangani rekaman lagu-lagu keroncong Hetty di luar Indonesia.

Musik keroncong sering memperoleh perhatian dari musisi dan industri rekaman musik mancanegara. Mereka menilai keroncong punya nilai lebih sebagai musik Indonesia. Musisi Eugene Bick dari Family Man Indianapolis . Amerika Serikat pada tahun 1996 sempat bermaksud memproduksi keroncong untuk konsumsi penggemar musik di negerinya.

Bick menjelaskan, masyarakat Amerika amat mendambakan bentuk-bentuk kesenian yang punya keunikan, keroncong selain mengambil bentuk musik Barat yang komunikatif juga menyajikan harmoni yang khas Timur. Terutama unsur cengkok dalam musik keroncong merupakan sesuatu yang tak terdapat dalam musik Barat.

Tanpa menggunakan kata musik, keroncong sudah cukup jelas mewakili bahwa inilah musik artistik penduduk kepulauan rumpun Melayu bernama Indonesia, dengan pola ritme gitar pengiring, ukulele, cello yang dipetik merupakan ciri khas gamelan dan musik gendang Melayu. Falsafah gamelan Bali, Jawa, Sunda dan gendang Melayu jelas dianut keroncong. Biola yang membawakan tema lagu, diikuti instrumen lainnya yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya melalui adaptasi naluri serta timbang rasa, yang tidak lazim dalam musik Barat.

Itulah kekuatan keroncong yang sekarang menjadi made in Indonesia dan dikagumi dunia internasional karena berpegang teguh pada kaidah-kaidah adiluhung mempertahankan keaslian estetika musikalitasnya.

Jakarta awal 2006

Oleh : Danny Baskara
Editor : Ponco